Mengelola Konten Berita

Waktu baca :

6 menit
Trakteer Saya

Trakteer Saya

Masa masa menjelang Pemilu begini, biasanya lebih banyak jadi santapan media yang berbasiskan informasi.

Salah satunya, stasiun TV berita. Kehadiran mereka, yang berfokus hanya pada berita dan informasi (dua kata yang terdengar mirip artinya, tapi sebenernya beda) memungkinkan memperoleh informasi terkini dan tercepat. Berbeda dengan stasiun TV hiburan yang tidak leluasa untuk menghadirkan konten ini, karena selain tidak sesuai strategi, mereka lebih keras dari sisi tekanan mencari rating dan program jenis ini secara rating tidak sebesar rating program hiburan.

Bagaimana peta persaingan stasiun TV berita saat ini? Bagaimana juga mereka menanggapi makin banyaknya sumber informasi hari ini, yang “mengancam” eksistensi mereka?

=====

Kehadiran stasiun TV khusus berita dan informasi di Indonesia, tentu tak lepas dari kesuksesan stasiun TV berita di negara lain. Misalnya seperti Amerika Serikat yang dikenal dengan beberapa stasiun TV berita, seperti CNN, NBC, CNBC dan Fox News. Secara momentum, kelahiran stasiun TV berita di Indonesia pun tepat, karena guliran Reformasi baru dimulai, dimana media massa mulai lebih bebas dalam bersuara.

Sebelum Reformasi, 5 stasiun TV hiburan yang ada saat itu sebenernya sudah cukup kuat dari sisi kerja pemberitaannya. Yang terkuat, tentu RCTI dan SCTV. Mereka banyak belajar dari stasiun TV berita di Amerika Serikat. Namun, keterbatasan akibat sensor ketat pemerintah Orde Baru membuat potensinya kurang kelihatan. Tapi, menjelang Reformasi dimulai (ditandai mundurnya Presiden Soeharto), stasiun TV hiburan ini menunjukan taring mereka dan dianggap sebagai salah satu pengobar gerakan Reformasi. Padahal, stasiun TV ini semuanya berafiliasi (minimal mendukung) pemerintahan saat itu. Pembangkangan nyata adanya, di tengah kesulitan bisnis yang mereka hadapi akibat krisis 1998.

Angin segar mulai lahir untuk segmen berita dan informasi. Dari 5 stasiun TV yang lahir pada 1998 (diberikan izinnya), 1 stasiun TV bertekad menjadi stasiun TV berita pertama di Indonesia. Kita kini mengenalnya dengan Metro TV. Stasiun TV milik pengusaha dan manajemen media terkemuka, Surya Paloh ini awalnya dianggap remeh, disaat banyak stasiun TV berburu di ranah hiburan. Mereka bermain di segmen yang sempit (menengah ke atas, yang memang jadi segmen utama stasiun TV berita), namun pas. Pengiklan menjadi spesifik, tapi rela membayar mahal.

Namun, langkah stasiun TV yang sempat dimiliki sebagian sahamnya oleh Hary Tanoe (melalui BHIT) ini tepat adanya. Dari 5 stasiun TV yang lahir di periode sama, hanya Trans TV dan Metro TV yang tak sedikitpun beralih kepemilikan. Tiga stasiun TV lainnya, semua stasiun TV hiburan, beralih kepemilikan. Yang satu masuk grup Trans TV, yang satu di grup MNC, dan yang satu di grup Bakrie. Nah, yang terakhir inilah yang kemudian mengikuti jejak Metro TV. Kita kini mengenalnya dengan TV One sejak 2008.

TV One berhasil kompetitif di pasaran. Penyebabnya, gaya pemberitaan TV One yang lebih “ramah” (kalau tak mau dibilang kontroversial) bagi kebanyakan pemirsa dibanding Metro TV yang “high class”, status TV One sebagai eks stasiun TV hiburan dengan peringkat tak buruk buruk amat dan kecepatan TV One dalam menggarap breaking news (berita dadakan yang meliput peristiwa yang terjadi saat ini/mendekati real-time). TV One banyak dibekingi eks stasiun TV hiburan yang cukup kuat di pemberitaan, termasuk Trans TV yang di awal cukup kuat di bidang ini. Kelahiran stasiun TV yang “beda” ini membuat makin banyak grup media tertarik membuat stasiun TV berita.

Sampailah di hari ini. Ada tambahan iNews (eks Sindo TV dan Sun TV), Kompas TV yang banting setir dari TV hiburan dan informasi, CNN Indonesia dan BTV (eks Beritasatu). Belum di tambah stasiun TV berita ekonomi yaitu CNBC Indonesia. Sebelumnya, sempat ada Bloomberg TV Indonesia, yang kemudian berhenti siaran. Definisi rame bener.

Stasiun TV berita di Indonesia sebenarnya tidak mendapat porsi yang cukup besar dalam persaingan. Dari sisi bisnis tentu lebih menguntungkan konten hiburan. Ingat ingat, skala bisnis hiburan di dunia lebih besar dari bisnis dan sektor manapun, termasuk politik (harap maklum kalau politisi mau coba coba jadi sang penghibur dengan janji janji manisnya wkwkwk). Dari sisi lain, resiko stasiun TV berita lebih tinggi karena resiko reputasi yang lebih dahsyat dibanding stasiun TV hiburan.

Namun, kok malah pemainnya jadi banyak?

Jawabannya, faktor marketing untuk penguasaan market share dan belanja iklan. Itung itung nambah porsi secara grup dan sebagai pelengkap jualan ke pengiklan. Alasan lainnya, bagi pemilik stasiun TV berita yang mau terjun ke politik, mereka bisa menggunakan stasiun TV berita sebagai strategi “main di udara” (*) untuk menyukseskan langkah politik mereka. Bahasa awamnya, media pencitraannya mereka.

(*) Istilah untuk strategi promosi atau kampanye politik yang bermain di propaganda, setting narasi dan perintah satu arah, menggunakan platform media.

Hal ini membuat keberadaan stasiun TV berita menjadi cukup penting di mata pebisnis media. Tinggal bagaimana mengatasi tantangan kue iklan yang tak besar, namun dibagi banyak pemain. Karena itulah, strategi jitu perlu disusun. Salah satunya, memaksimalkan blocking time (waktu siaran yang disewa).

Biasanya blocking ini akan lebih banyak terjadi di “jam jam kosong” (bukan jam prime untuk pemberitaan) di pagi dan siang hari. Bisa dalam bentuk talkshow terkait lembaga pemerintahan atau bisnis maupun dalam bentuk live event. Nah, live event Ini yang lagi marak di era pesta demokrasi saat ini, yang bisa dimanfaatkan partai politik maupun calon Presiden. Karena sekarang sudah era media digital, mereka juga menawarkan slot blocking melalui Youtube.

Meski namanya stasiun TV berita, dalam kondisi tertentu mereka tak sepenuhnya menjual konten berita. Ada konten informasi (mirip mirip On The Spot Trans 7), talkshow dengan persona/figur yang “dapat dipercaya” seperti Rosianna Silalahi (Kompas TV), Aiman Witjaksono (iNews) dan Karni Ilyas (TV One). hingga konten jalan jalan dan hiburan seperti musik dan komedi. Yang lain, dan belakangan ditonjolkan adalah program olahraga. Secara segmentasi, kebetulan pasar program olahraga dan berita sama : laki laki. Program olahraga, seperti sepak bola, bisa disebut cara instan menaikkan rating, dan ini juga berlaku di stasiun TV berita. Syaratnya, konsisten dengan branding olahraga tersebut.

Seperti yang kita tahu, mencari berita dan informasi kini makin banyak sumbernya. Media sosial benar benar memudahkan, terutama Youtube yang menjadi pemain kuat di sektor ini. Disinilah stasiun TV berita tentu berputar otak mengelola hal ini. Secara umum, hampir semua stasiun TV berita sebenernya sudah cukup kuat di media sosial. Investasi selama bertahun tahun mereka mengupload konten cukup menghasilkan. Selain mengupload berita dan konten lain dari TV, mereka pun juga berinovasi dengan original content di YouTube yang disesuaikan formatnya.

Langkah lebih maju, sejumlah stasiun TV berita meluncurkan format news + AI (Artificial Intelligence). Format ini membuat berita khusus di media sosial, dengan news anchor (pembawa berita) yang terbuat dari AI dan dibentuk dengan persona/kepribadian tertentu. Pengisi suaranya masih orang beneran, jadi bukan mbak mbak Google wkwkwk. Menurut manajemen stasiun TV tersebut, mereka memakai hal ini sebagai upaya lebih jauh menangkal hoaks yang beredar di media sosial dengan faktor kepercayaan dari institusi dan jurnalis/wartawan media yang dikenal sebelumnya, sekaligus memperbesar base ekosistem mereka di dunia digital.

Yah, sebenernya meski menurut saya itu masih dalam taraf gimmick ala ala fenomena digitalisasi saham – jaman nempel ke platform macam GOTO atau bikin bank digital, harga saham langsung naik, namun kita perlu menghargai upaya mereka. Sayangnya, dengan media yang terkumpul pada kekuatan tertentu, termasuk politik, memang masih ada masalah pada reputasi alias kepercayaan terhadap berita yang disampaikan. Sejumlah stasiun TV berita sudah tercoreng namanya, bahkan ada yang berdampak pada belanja iklan yang mereka dapatkan.

Yah, seperti yang saya sebut tadi, resiko reputasinya besar. Perlu punya sikap yang jelas dan independen dari tekanan manapun.


Eksplorasi konten lain dari @plbk.investasi

Mulai berlangganan untuk menerima artikel terbaru di email Anda.


Komentar

Tinggalkan komentar


Popular Categories



Cari tulisan saya disini