Seragam, Ritel dan Trisula

Waktu baca :

4 menit
Trakteer Saya

Trakteer Saya

Sampailah di emiten terakhir, pada sektor tekstil, yang saya bahas.

Emiten ini bisa dibilang ngga banyak dikenal di mata investor, ketika membicarakan sektor tersebut, dibandingkan dua emiten yang minggu-minggu lalu saya bahas. Harap maklum, dari sisi aset dan pendapatan saja, paling kecil dibandingkan Sritex atau Pan Brothers. Namun, diantara semuanya, emiten ini relatif strong dalam tantangan sektor tekstil selama beberapa tahun terakhir. Bisa jadi juga, karena posisinya yang kecil, tapi sebenernya ngga terlalu kecil juga – melihat pemiliknya.

Kita akan berkenalan dengan 2 emiten sekaligus dalam satu postingan, Trisula International (TRIS) dan Trisula Textille Industries (BELL).

=====

Grup emiten yang satu ini saya kenali jauh jauh hari, sejak TRIS melakukan IPO di 2012 lalu. Saat itu, saya masih SMP. Seriusan. Itu karena saya follow salah satu akun perusahaan sekuritas, dan saat itu muncul berita tentang emiten ini yang baru IPO. Namun, karena saat itu saya cuma sekadar iseng, saya tak memahami banyak tentang emiten ini. Yang tertulis, emiten ini bisnisnya di sektor tekstil. Bayangan saya yang pendek, berpikir sektor ini cuma sekadar jahit baju. Sekarang, saya sudah mulai paham sektor ini ngga cuma menjahit saja dan betapa besarnya dampak sektor ini bagi ekonomi Indonesia.

Grup TRIS dan BELL (selanjutnya saya tulis Trisula) punya sejarah panjang di sektor tekstil ini. Yang lahir duluan adalah BELL, dimana BELL inilah yang menjadi pencetus grup Trisula keseluruhan. Lahir sejak 1968 oleh Alm Tirta Suherlan, bisnis BELL ini berkisar di wilayah Bandung dan Cimahi. Nama Trisula sendiri baru dipakai di 1971, dan nama entitas BELL yang saat ini digunakan dipakai sejak 1999. Dalam periode ini, grup Trisula banyak melakukan akuisisi dan ekspansi di bisnis tekstil dan garmen, yang berlanjut (hampir) ke hilir, melalui penjualan produk ritel menggunakan brand sendiri (JOBB) dan brand lisensi (Jack Nicklaus). Kini kepemilikan grup sudah dipegang generasi keduanya, Kiky Suherlan dan Dedie Suherlan.

Bisa dibilang, Trisula ini sebenernya lebih mirip Pan Brothers. Bedanya, Trisula nampak lebih serius di bisnis hilir. Dikit lagi, jika manajemen punya kemampuan dan serius, Trisula mungkin bisa bersaing dengan pemain terkenal di ritel belanja, seperti Mitra Adiperkasa (MAPI). Namun, mungkin karena merasa fokusnya di tekstil dan garmen, mereka memilih fokus di bisnis ini. Mereka sekarang lebih banyak berjualan dengan menyewa space di sejumlah departemen store.

Keluar dari tekstil, Trisula sendiri memiliki bisnis furniture dan peralatan sejenisnya (meja, kursi dsb) melalui Chitose Internasional (CINT) dan memiliki penyertaan saham di bisnis properti patungan dengan Ciputra (CTRA). Proyek propertinya ada di Jakarta Barat, superblok Ciputra International, tidak terlalu jauh dari kantor pusat Trisula. Bisnis dan asetnya yang lain cukup mayan juga, baik di sektor properti maupun sektor lainnya. Ya, bisa dibilang Trisula punya track record yang mayan juga.

Nah, TRIS yang kemudian menjadi entitas grup Trisula yang pertama IPO di bursa, awalnya berfokus di bisnis ritel Trisula yang tadi. Lahir sejak 2004 untuk menampung bisnis tersebut. Namun menjelang IPO, TRIS kemudian melebarkan bisnisnya dengan konsolidasi beberapa bisnis garmen di grup Trisula. Bisnis garmen ini hampir semuanya berorientasi ekspor, dimana negara tujuannya antara lain Australia, Amerika Serikat, Jepang dan sejumlah negara di Eropa. Sementara bisnis domestiknya sendiri kebanyakan melayani pakaian seragam dan pakaian kerja lainnya. Ini adalah spesialisasi dari Trisula.

Kemudian, pada tahun 2019, TRIS melakukan konsolidasi BELL melalui inbreng saham milik pengendali di BELL, yang IPO di tahun 2018. Secara kebetulan, periode itu cukup menantang bagi TRIS, dimana bisnis ritelnya menghadapi tantangan akibat daya beli dan persaingan di sektor fashion/pakaian jadi. Ini cukup menekan kinerja TRIS, meski disisi garmen tidak banyak menghadapi kendala – justru banyak orderan dari ekspor untuk seragam perusahaan. Konsolidasi ini membuat TRIS bisa mengendalikan proses sejak awal, dari pembuatan kain hingga pakaian jadi.

Secara kinerja, meski TRIS dan BELL ikut jatuh di 2020 – bersama pemain sektor tekstil lainnya, namun keduanya berhasil bounce back (kembali) di 2022. Salah satunya akibat pasar domestik yang cukup kuat digarap oleh BELL, sementara beberapa anak usahanya TRIS fokus di ekspor. Apalagi pasar bisnis seragam yang berpotensi berulang, dan tidak terpengaruh kondisi ekonomi dan daya beli. Situasi ini saya duga cukup menyelamatkan kinerja Trisula di full year 2023 – saat tulisan ini dibuat belum ada laporan keuangannya – disaat pemain tekstil lainnya masih berada dalam kondisi sulit.

Meski terlihat cemerlang, laporan keuangan TRIS mengungkap satu hal yang “unik”. Sejak 2016, TRIS membukukan “uang muka investasi” kepada perusahaan makanan kecil alias snack. Bentar bentar. Bro and sis ngga salah baca. TRIS secara total mengeluarkan “uang muka” senilai Rp 51 milyar ke perusahaan bernama PT Gita. Sayangnya saya tak mendapat profil pasti perusahaan ini, kecuali disebut ini perusahaan sudah lama berdiri. Perusahaan ini tidak disebut sebagai pihak teraffiliasi Trisula, namun sejumlah manajemen Trisula disebut menjadi komisaris atau direksi PT Gita.

Entah kenapa uang muka ini tidak kunjung terealisasi bertahun tahun. Namun yang jelas, pada 2021 “uang muka” ini diubah menjadi hutangnya pengendali TRIS kepada TRIS (alias hutang pihak berelasi).

Apakah ada masalah dalam realisasinya? Entahlah. Tak ada keterangan lebih lanjut soal ini.


Eksplorasi konten lain dari @plbk.investasi

Mulai berlangganan untuk menerima artikel terbaru di email Anda.


Komentar

Tinggalkan komentar


Popular Categories



Cari tulisan saya disini