Jalan Terjal Restrukturisasi Grup Media Bakrie

Waktu baca :

4 menit
Trakteer Saya

Trakteer Saya

Hari Jumat lalu, manajemen grup Visi Media Asia (VIVA), bisnis media grup Bakrie, yang menaungi dua stasiun TV ANTV dan TV One mengumumkan adanya gugatan PKPU dari salah satu suppliernya.

Gugatan ini melengkapi drama restrukturisasi yang tengah terjadi di grup VIVA. Sebelumnya, manajemen grup ini sedang berupaya melakukan restrukturisasi hutang bank mereka, terkait dengan pembelian hak siar Piala Dunia 2014 dan bisnis Viva+ (TV berlangganan yang kini sudah mati). Restrukturisasi yang awalnya direncanakan menggunakan konversi saham dan/atau refinancing sebagian hutang sampai saat ini belum terlaksana.

Bagaimana nasib mereka kedepannya?

=====

Sebenarnya, situasi ini bukan situasi perdana bagi ANTV dan TV One.

Pada era krisis ekonomi 1998, ANTV yang saat itu baru berumur 5 tahun, menghadapi masalah yang kurang lebih mirip. Masalahnya soal hutang lagi. Situasi inilah yang membuat ANTV tidak leluasa dalam banyak hal, dibanding stasiun TV lain saat itu, di tengah kesulitan yang dirasakan bersama semua stasiun TV. Bahkan, dibandingkan dengan TPI (kini MNCTV) yang sama sama menghadapi kesulitan yang parah, salah satunya karena tagihan dari Indosat (ISAT). Sejumlah hak siar program olahraga dan program lainnya harus lepas dari ANTV, salah satunya Famili 100 – jadi pelopor program franchise di TV Indonesia, yang kemudian pindah ke Indosiar.

Upaya restrukturisasi dilakukan sepanjang periode 1999-2003. Perubahan logo ANTV pada 2003 saat itu, menjadi tanda bahwa upaya restrukturisasi mulai membuahkan hasil dan ANTV mulai siap bersaing. Sisanya, adalah cerita panjang tentang ANTV yang sempat bergandengan dengan pebisnis media terkemuka, Rupert Murdoch (periode 2006-2009), serta berhasil membalikkan kerugian bertahun tahun jadi keuntungan.

Sementara bagi TV One, situasi itu terjadi di periode masih bernama Lativi. Saat itu, sekitar periode 2005-2007, pemilik sebelumnya dan sekaligus mantan Menteri Tenaga Kerja, Abdul Latief, menghadapi masalah hutang di Bank Mandiri (BMRI) yang juga terkait dengan bisnis Abdul Latief yang lain, ritel belanja Pasaraya di Jakarta. Masalahnya, bukan hanya pada kemampuan membayar hutang saja, namun ternyata ada fraud dalam hal penggunaan kredit. Hal ini menyeret eks direksi BMRI ke meja hijau.

Atas kasus ini dan sejumlah masalah internal lainnya, Lativi kemudian mulai ditawarkan kepada sejumlah calon pembeli. Sempat diisukan sejumlah nama, baik dalam maupun luar negeri. Hasilnya, grup VIVA atau Bakrie mengakuisisi Lativi pada 2007. Grup yang saat itu masih dikoordinir Erick Thohir ini kemudian mengubah Lativi menjadi TV One seperti sekarang. Sisanya, adalah cerita kesuksesan TV One yang mengalahkan Metro TV.

Namun, situasi tersebut berbeda dengan situasi yang dialami VIVA saat ini. Saat situasi itu terjadi, bisnis televisi tak semenantang hari ini. Meski persaingan stasiun TV sudah ketat, namun saat itu belum ada media digital dan media sosial yang mempengaruhi perebutan kue iklan. Selain itu, belum ada juga sistem teknis TV digital dan stasiun TV tidak sebanyak hari ini. Hal ini nampaknya menjadi tantangan utama.

Yang lain, kinerja rating ANTV dan TV One menjadi yang paling merosot dibandingkan grup stasiun TV lain, selama beberapa tahun ini. Terutama setelah adanya teknis TV digital. Sejumlah upaya mengubah strategi program terus dilakukan, dan mendapat tantangan lain karena pembatasan sosial akibat pandemi. 

Hingga terakhir, ANTV akhirnya memutuskan untuk sepenuhnya fokus di serial Asia, terutama India. ANTV pun juga memutuskan membongkar studio mereka sendiri di Kuningan, Jakarta dan menyewa beberapa lantai di gedung milik grup Bakrie lainnya. Bahkan untuk sejumlah programnya, ANTV sampai menyewa studionya NET TV (NETV), yang dikabarkan barter dengan penyewaan kanal NETV di Mux TV digital grup VIVA.

Sementara TV One terus melakukan perombakan program, termasuk dengan terpaksa menghentikan tayangan TV Indonesia Lawyers Club (ILC). Ini salah satu program unggulan TV One. Meski, klaim manajemen, ILC dihentikan karena “kontrak” berakhir dan beralih ke tayangan di Youtube.

Apakah situasi ini yang mempersulit langkah VIVA melakukan restrukturisasi yang mandek sejak 2020, sampai ada isu penjualan ANTV?

Rasanya ini mengherankan, karena track record Bakrie yang sukses “simsalabim” melakukan restrukturisasi dengan mudah. Apalagi di periode bersamaan, ada transaksi restrukturisasi dengan menggandeng grup Salim, di Bumi Resources dan Bumi Resources Minerals (BUMI dan BRMS), yang sukses membuat kedua emiten ini terselamatkan dan sempat jadi primadona investor.

Jika alasannya karena faktor bisnis stasiun TV, rasanya ngga masuk akal. Apalagi justru jumlah pemain baru di stasiun TV bertambah. Meski ini tak berarti indikasi kinerja yang baik, namun posisi ANTV dan TV One tentu lebih nempel di benak penonton dibandingkan stasiun TV baru. Jikapun alasannya karena Bakrie yang terlalu berpihak ke jalur politik tertentu, rasanya dampaknya tidak separah ini. Apalagi sampai ada gugatan PKPU. Lalu apa sebabnya?

Saya menduga tiga hal : Bakrie sebenarnya sudah tak terlalu pede di bisnis media dibandingkan bisnis tambang dan kendaraan listrik, sehingga cenderung pasrah? Atau, memang tak ada investor yang benar benar tertarik karena ngga ada kesepakatan? Atau, kreditur grup VIVA tak sepakat dengan restrukturisasi sebelumnya? Atau apa?.

Entahlah. Namun yang jelas, PKPU kali ini menambah tantangan bagi manajemen VIVA untuk segera menyelesaikan restrukturisasi tersebut. Restrukturisasi tanpa ujung tentu hanya akan menimbulkan ketidakpastian. Disisi lain, restrukturisasi juga mengurangi keleluasaan kedua stasiun TV itu untuk melakukan ekspansi, maintenance maupun pembelian program.

Tentu kita perlu menunggu, apakah mereka bisa melewati tantangan kali ini.


Eksplorasi konten lain dari @plbk.investasi

Mulai berlangganan untuk menerima artikel terbaru di email Anda.


Komentar

Tinggalkan komentar


Popular Categories



Cari tulisan saya disini