[Spoiler Alert] Mukidi dan Kisah dari Perbankan

Waktu baca :

5 menit
Trakteer Saya

[spoiler alert]

Dalam masa libur Lebaran yang baru usai kemarin terlewati, saya mulai menikmati dua pengalaman baru.

Pengalaman pertama adalah ganti perangkat TV menjelang Lebaran, menggantikan TV lama yang sudah rusak karena faktor umur, sekitar 5 tahunan. Ini ngga terlalu gimana ya. Yang kedua ini yang jadi agak spesial. Ya, setelah sekian tahun lamanya, saya mulai mencoba menikmati konten OTT streaming. Jadi agak telat memang dibandingkan, mungkin, bro and sis yang sudah terbiasa dengan film atau series dari platform tersebut.

Nah, cerita kali ini, ada hubungannya sama yang kedua. Ketika saya nonton satu film yang cuma tayang di OTT streaming, dan kisahnya cukup unik macam oase di tengah deretan film Indonesia yang melulu horor selama setahun dua tahun terakhir. Film ini, secara kebetulan baru tayang tahun ini dan premiere di hari Lebaran ke 2.

Apa menariknya? Please welcome, Mukidi ~

======

“Bentar bentar, ini akun ngga berubah jadi ulasan film dong?”

Wkwkwwkwkwk. Ngga. Sejujurnya saya ini hanya penikmat, untuk berbagai konten drama dan komedi. Tapi tergantung siapa yang main dan temanya apa, serta bertele tele atau ngga. Itu sebabnya saya kurang suka dengan sinetron di TV hari ini yang beratus ratus episode, dengan situasi yang ngga jelas. Mungkin yang bisa agak diterima genre slice of life, macam Tukang Ojek Pengkolan, Preman Pensiun, Bajaj Bajuri atau Dunia Terbalik. Saya lebih suka yang pendek, film atau sekalian aja FTV 2 jam yang cepet beres tapi ceritanya sebenernya polanya itu itu doang **colek Indosiar sm SCTV wkwkwk**.

Nah, tapi film yang ini menjadi lebih spesial dari itu semua. Menjadi spesial, karena latar ceritanya definisi menjadi relate sedikit dengan pemahaman saya di soal duit, meski sebenernya dari sisi cerita tentu kisahnya agak “unik” – untuk tidak dikatakan ajaib dan aneh. “Keunikan” itu, rasanya menjadi wajar karena memang tokoh utamanya memang didesain definisi “unik” beneran.

Jadi, Mukidi yang diproduksi bersama antara MD Pictures (FILM) dan Umbara Brothers (Anggy Umbara, sutradara terkenal) ini diadaptasi dari karakter unik dan lucu yang beberapa tahun lalu sempat viral di media sosial. Pencetusnya adalah pak Soetantyo Moechlas. Mantan manajer di perusahaan farmasi multinasional ini menciptakan tokoh tersebut, dengan istri dan anak dua, serta sahabat karib. Bentukan sebenernya lebih ke komedi singkat tapi renyah. Beliau mencetuskan kisah Mukidi awalnya dari radio, kemudian berlanjut ke blog dan online, kemudian sempat dibuat bukunya. Intinya, Mukidi di film ini adalah bagian dari penggambaran Mukidi yang diceritakan.

Dalam cerita versi film ini, Mukidi yang diperankan “papanya Gempi dan anaknya pemain film” (maksudnya Roy Marten) – seperti line lawakan yang terselip di salah satu adegan – Gading Marten, ceritanya merantau ke Ibukota Jakarta (eh, sekarang Daerah Khusus ya?) untuk mengubah nasib. Sejak awal, Mukidi diceritakan orangnya agak naif bin bodoh, serta katanya bisa bikin sial orang di sekitarnya. Tapi “uniknya”, malah beruntung ketemu jodohnya dulu baru pekerjaan. Jodohnya itu jadi istrinya dan dari sini melahirkan dua anak.

Singkat cerita, bertahun tahun gonta ganti pekerjaan dan sempat menganggur, Mukidi secara beruntung – dan “anehnya” – punya posisi bagus di kantor cabang dari sebuah bank yang namanya Bank SAT (bacanya jangan digabung wkwkw). SAT adalah Sinar Asia Tenggara. Awalnya mau melamar jadi Office Boy, karena ketemu manajer cabang yang merasa terbantu karena meminjamkan uang Rp 20 ribu buat bayar taksi (aneh? Wkwkwk), malah dimasukkan ke jabatan analis kredit. Widih. Padahal dari sisi pendidikan dan kualifikasi lainnya, Mukidi tidak pas di jabatan tersebut. Hal ini, tidak lain tidak bukan, karena jalur “orang dalam” dan HRD terkait malah tidak menyeleksi dengan seharusnya.

Stop sampai disini. Lengkapnya bisa nonton sendiri di Amazon Prime Video.

Namun, kisah tiba tiba jadi orang keuangan ini menurut saya definisi unik untuk ukuran film Indonesia yang jarang mengangkat jabatan di sektor jasa keuangan dengan proporsional. Apalagi dengan jabatan spesifik yang definisi ngga dikenali penonton kebanyakan. Yang orang ketahui di bank itu paling mentok sampai CS, teller, satpam bank dan mereka yang suka nelpon mengaku dari bank untuk menawarkan kartu kredit dan asuransi.

Penggambaran tentang bagaimana pekerjaan analis kredit yang berkutat dengan penelitian dokumen dan profil  nasabah, tanda tangan serta bersama sama menyukseskan target penyaluran kredit bank definisi cukup baik. Meski, tentu Mukidi yang tidak paham itu semua – bahkan tidak paham soal bunga bank – main tanda tangan semua pengajuan kredit usaha, seaneh apapun usaha atau bisnis yang dibiayai. Alasannya terdengar naif, tapi baik sih, “ingin membantu sebanyak banyaknya orang”. Apalagi diceritakan, si Bank SAT (jangan digabung bacanya wkwkwk) ini adalah bank yang fokus di UMKM. Definisi familiar dengan sejumlah emiten bank di bursa yang mengaku fokus ke segmen pasar ini.

Namun, seperti yang sudah diketahui, menyalurkan kredit ke UMKM memang beresiko cukup tinggi. Apalagi karakteristik debitur segmen ini kadang kadang membuat emosi kita harus naik turun dengan segala kisah mereka yang ajaib, mengharukan dengan perjuangan hidupnya dan banyak juga kang tipu tipunya. Seleksi harus diperkuat dan sayangnya ini tidak terjadi di kasus Mukidi. Akhirnya, seperti yang sudah diduga, kredit macet meningkat dan banyak konflik terjadi antara debitur dengan debt collector. Mirip dengan situasi pinjol, kan?

Akhirnya, diceritakan Mukidi menyelesaikan masalahnya, bersama 2 sahabat karibnya dan istrinya, Markonah, dengan mengunjungi debitur bank tersebut. Perubahan pendekatan ini, dengan pendampingan, membuat perlahan lahan kredit macet bisa teratasi. Nah, situasi pendekatan inilah yang mengingatkan saya pada adopsi pendekatan nasabah sejumlah lembaga keuangan dalam mengakuisisi nasabah UMKM, lebih tepatnya usaha mikro dan kecil.

Adopsi pendekatan selayaknya segmen korporat dan individu (kaum menengah kejepit dan kaum sultan beneran) yang dinilai memiliki kesamaan pemahaman dan mindset soal keuangan, tentu ngga efektif bagi mereka yang berbisnis warung kelontong atau usaha kecil lainnya. Banyak isu yang masih perlu diatasi soal pengelolaan keuangan usaha, strategi bisnis hingga bagaimana menjaga hubungan baik dan saling mendukung.

Meskipun film ini banyak “keajaiban” (”keanehan”) – yang anehnya masih bisa diterima, namun saya melihat ini adalah satu contoh treatment (penyajian) untuk bisa memasukkan konten keuangan dengan cara yang asyik. So, harapannya kedepan para pelaku perfilman mulai berani memainkan cerita dari sektor ini, karena toh bisa dinikmati juga.


Eksplorasi konten lain dari @plbk.investasi

Mulai berlangganan untuk menerima artikel terbaru di email Anda.


Komentar

Tinggalkan komentar


Popular Categories



Cari tulisan saya disini