Rose Brand, Tapi Versi Minyak Goreng

Waktu baca :

4 menit
Trakteer Saya

Minggu lalu sudah membahas SMART Tbk (SMAR), kini giliran Tunas Baru Lampung (TBLA).

Emiten yang satu ini mungkin ngga terlalu familiar. Namun, jika saya menyebut brand ini : Rose Brand, kita akan mudah memahami emiten yang satu ini. Emiten ini tergabung dalam satu grup besar bernama Sungai Budi. Grup ini banyak beraktivitas di sektor perkebunan dan pertanian, dimana TBLA ini fokusnya di perkebunan. Lebih tepatnya, perkebunan kelapa sawit.

Selain sawit, TBLA juga mendiversifikasikan diri ke sektor perkebunan tebu dan pengolahan menjadi gula. Hal ini membuat TBLA menjadi satu satunya emiten bursa yang beroperasi di gula, karena ketiadaan produsen gula lainnya di lantai bursa.

Kita akan kupas cerita mereka dalam post kali ini.

======

Selain karena Rose Brand, TBLA mulai cukup dikenal investor karena diisukan bahwa investor kawakan, pak Lo Kheng Hong (LKH) juga memiliki saham disini. Isu ini salah satunya muncul karena LKH pernah mengunjungi kantor dari grup TBLA. Selain itu, TBLA dianggap sesuai menurut kriteria yang biasa digunakan oleh LKH. Hal ini ditunjukkan melalui PBV TBLA yang berada di bawah 1x sejak 2019-2020.

TBLA sendiri lahir sejak 1973, dan sesuai namanya ia berawal dan berfokus di Lampung. Hampir semua unit bisnisnya ada di sana, mulai dari perkebunan sawit, pabrik pengolahan menjadi minyak goreng dan turunan sawit lain, perkebunan tebu hingga pabrik pengolahan tebu menjadi gula. Bahkan, pabrik pengolahan biodiesel untuk B30-B35 (campuran CPO 30-35% dan sisanya BBM) juga ada disana. Selain di Lampung, mereka memiliki pabrik pengolahan minyak goreng dan turunan sawit lainnya di Surabaya (sebagai proxy ke pasar Indonesia Timur) serta pabrik pengolahan dan perkebunan masing-masing di Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat.

TBLA adalah bagian besar dari grup Sungai Budi. Grup ini umumnya dikenal dengan tepung beras Rose Brand, yang sayangnya tidak termasuk dalam TBLA. Selain itu, mereka juga memproduksi bihun, termasuk bihun instan. Perusahaan teraffiliasinya, Budi Starch and Sweetener (BUDI) ada di lantai bursa, berbisnis tepung tapioka dan gula dengan merek yang sama. TBLA ini fokusnya di minyak goreng dan gula pasir, serta berbagai turunan sawit lainnya, seperti bahan bahan kimia untuk sabun. Seperti kebanyakan perusahaan dalam grup lainnya, TBLA mengandalkan integrasi dan distribusi yang sudah kuat dimiliki oleh grup Sungai Budi. Hal ini membuat secara konsisten pendapatan terbesar (yang berarti piutang terbesar juga) adalah dari Sungai Budi sebagai pengendali dari TBLA.

Sungai Budi sendiri didirikan oleh (Alm) Ngadiman Winata dan saudaranya, Widarto serta Handoko Winata. Ngadiman mengawali bisnisnya secara sederhana dari sebuah CV pada 1965 yang memperdagangkan komoditas komoditas yang kini jadi unggulan grup ini. CV tersebut berdiri di Teluk Betung, Lampung, yang kemudian menjadi tempat utama grup ini beroperasi. Namun pada 1982, Ngadiman telah berpulang ke hadiratNya. Handoko dan Sutrisno Winata (anaknya Ngadiman) kemudian memutuskan berpisah dari bisnis grup ini.

Inilah yang membuat pengendalian grup kini berada di tangan Widarto – direktur utama TBLA dan Santoso Winata – komisaris utama TBLA (keponakan Widarto, anaknya Ngadiman). Kepemilikan mereka masing-masing 50%. Oey Albert (anak Widarto) menjabat sebagai komisaris TBLA, sementara saudaranya, Oey Alfred menjabat sebagai direktur TBLA. Tahun lalu, sepupu mereka berdua, Jason Indrian Winata baru diangkat menjadi direktur TBLA.

Secara kinerja, TBLA menikmati diversifikasi kelapa sawit dan gula dengan baik. Pendapatan dari bisnis pengolahan gula sendiri sekitar 1/3 dari pendapatan grup, sisanya adalah dari kelapa sawit dan turunannya. Hal inilah yang membuat TBLA relatif lebih kuat dalam kondisi harga CPO yang kurang menguntungkan. Kinerja TBLA mengalami lompatan luar biasa pada tahun 2021 dan 2022, sebagai akibat dari makin membesarnya pendapatan dari bisnis biodiesel (pelanggan utamanya adalah Pertamina grup) dan tentunya kenaikan harga CPO yang signifikan.

Namun, bisnis gula TBLA tidak sepenuhnya dipenuhi dari perkebunan tebu mereka. Ada percampuran dengan impor gula, mengingat kebutuhan akan gula pasir yang besar. Hal ini membuat bisnis gula mereka memperoleh tantangan dari sisi kuota impor gula yang ditetapkan pemerintah. Sementara bisnis perkebunan sawit masih dianggap memenuhi kebutuhan produksi turunan sawit dari grup TBLA.

Meski kinerja mereka relatif bagus, namun tantangan utama TBLA adalah level leverage (hutang) yang cukup tinggi. Rata rata melebihi 1,5x ekuitas (hutang bank dan obligasi). Hal ini dianggap cukup wajar, karena ekspansi mereka yang beberapa tahun terakhir membangun sejumlah pabrik pengolahan, seperti pengolahan gula dan biodiesel. Selain itu, tantangan TBLA lainnya adalah soal pengelolaan hutang dalam USD. Namun, TBLA mengatasinya melalui diversifikasi sumber pendapatan dengan USD dan Rupiah. Untuk USD sendiri, ada pendapatan dari ekspor olahan sawit dan domestik (diduga ini didukung oleh biodiesel yang dijual ke Pertamina dan perusahaan migas lainnya).

Nampaknya dua tantangan itu menyebabkan PBVnya TBLA 0 koma sekian.

Berikutnya, Salim Ivomas Pratama (SIMP).


Eksplorasi konten lain dari @plbk.investasi

Mulai berlangganan untuk menerima artikel terbaru di email Anda.


Komentar

Tinggalkan komentar


Popular Categories



Cari tulisan saya disini